RSS

Saat Kepercayaan Itu Hilang…(?)

“Ayo, belajar! Hal itu tak begitu bermanfaat! Emang ngaruh ke nilai mata pelajarannya? Saya kecewa dengan nilai yang tidak sinkron dengan apa yang kamu lakukan!”

Sebuah tamparan hebat yang membuat saya tercengang. I like writing, but my value in rapport was just so so. And I think, you can say it, so bad.

***

Seorang anak yang sedang mencari jati dirinya yang hampir digerogoti zaman, namun good filling itu tertindas dari busa pupuhunya sendiri. Ingin hati berontak. Tapi apa yang bisa menjadi tameng? Masa depan yang masih dalam rinai impian? Atau hanya pengalaman masa lalu orang lain? Hanya gelembung belaka.

Saat itu saya merasa hampir punah. Hati dan pikiran pun sudah digerogoti kenyataan. Demi mengejar cita, tetap saja nilai akademik yang dijadikan patokan. Meski toh pada kenyataannya, para peraih tinta emas itu belum dengan sepenuhnya mengaktualisasikan dalam keseharian. Yang justru itulah hakikat belajar yang sesungguhnya!

Penghargaan selalu dilihat dari sudut yang subjektif. Itulah yang mengekang diri menjadi pribadi yang rapuh, yang disesuaikan dengan selera. Belum pernah saya melihat, apalagi merasakan sendiri, bagaimana seorang ‘pununtun’ mampu mengendalikan dirinya untuk menjadi diri saya atau belajar mempelejari karakter saya untuk menemukan cara ajar yang lebih benar.

Mmh… Tidak sampai nge-blank sama sekali, sih. Saya baru menemukan dua jiwa yang belajar dari apa yang kita mau. Bukan hanya menyalahkan dari kesalahan dan perikeanak-anakan tunas. Saya salut.

Tapi kembali pada permasalahan. Belum mencapai 1% orang yang berdarah seperti itu. Tak heran, topeng-topeng menjadi tameng utama dalam lakon ini. Kedustaan dan kepura-puraan yang dilapisi madu dengan sentuhan perak. Terlihat menawan, namun jauh lebih dalam, busuk.

Mengapa yang seperti ini yang harus menimpa diri saya? Saat kawan sebaya dengan bebas mengaktualisasikan diri untuk mengembangkan diri, saya justru bak puteri istana yang dikerangkeng di menara paling atas.

Pikiranku menjadi tali, imajinasiku menjadi rantai. Mereka mengikat hati, tanpa pedulikan diri ini.

Jujur, ada rasa iri yang muncul. Begitu bangga berragam jenis piala disumbangsihkan teman-teman sebagai bukti pengabdian. Tapi apa yang sudah saya perbuat? Mungkin mimpi saja malah roboh. Adilkah ini?

Lagi, saya rindu kebebasan. Saya kangen masa lalu. Tapi hanya ilusi silam yang tak bisa dibenahi lagi.

Saya ingin kembalikan jati diri saya. Hak saya. Nilai-nilai usaha saya. Jangan sampai zaman kembali menggerogoti dan kepercayaan harus sirna. Ya Allah, hamba mohon, tunjukkanlah keadilan-Mu. Untuk membukakan hati orang-orang yang masih buta ataupun yang dibutakan.

Rabu, 11 Maret 2009

03.39-04.20

Dengan harap, semuanya akan kembali.

Sesuai relnya.

Amin.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ada sebuah renungan, tentu ada suatu kenyataan. Mudah-mudahan bukan curahan sebuah luapan emosi sesaat yang mengatasnamakan gejolak muda.