RSS

Kuliah? Sudah Siapkah?

Dalam suasana rileks setelah menempuh tiga hari masa percobaan Ujian Nasional, Jumat, 26 Februari hp-ku tak hentinya berdering. Sms yang sama, sms yang menyadarkanku dari kelalaian (bermalas-malasan-red) yang hampir akan dilakukan.

Isinya, “24 hari lagi, ya Allah. Kami hanya memohon 1 keinginan sederhana. LULUSkanlah kami 100% UN tahun 2010 ini. Amin.” Dalam suasana bawah sadar, hatiku turut mengamini.

Deg. Aku baru sadar, begitu dekatnya ujian yang akan dihadapi oleh setiap siswa angkatan akhir setiap jenjang. Kelas VI, IX, dan XII. Bagi kelas XII, perjuangan tak berhenti sampai UN dan UAS. Ujian-ujian masuk perguruan tinggi sudah menunggu. Meski beberapa siswa sudah ada yang diterima di beberapa perguruan tinggi melalui jalur PMDK, namun tak sedikit yang lebih memilih jalur tes, jalur yang sebagian besar diikuti oleh hampir seluruh pelajar dari setiap sudut negeri.

UN yang dilaksanakan pada 22-26 Maret (jika tidak ada perubahan lagi), setelahnya rangkaian ujian-ujian dimulai. 28 Maret calon mahasiswa ITB dan UGM bertarung. Selanjutnya, 11 April, UI melalui program SIMAK siap menjaring siswa-siswi terbaik bangsa. Belum lagi ujian seleksi yang diselenggarakan perguruan tinggi lainnya, baik negeri mauupun swasta.

***

Kuliah. Siap-siap melepas seragam putih abu dan segera memasuki dunia universitas kehidupan. Kategori usiapun sudah bukan kanak-kanak lagi. Namun, pemuda bangsa yang citra baik atau buruknya negeri terpotret dari perilaku dan prestasi kita. Sudah sejauhmanakah persiapan menuju agent of change, sang agen perubahan alias inovator negara?

Sedari kecil, tak jarang kita ditanya, “Cita-citanya pengen jadi apa, Dik?” Ada yang ingin menjadi presiden, dokter, politikus, guru, polisi, wartawan, dan rupa-rupa mimpi yang dicurahkan oleh masa kecil kita. Tentu semuanya tak bisa dicapai dengan hanya bertopang dagu. Pendidikan yang memadailah yang akan mengantarkan kita menuju gerbang impian tersebut.

Kacamata perguruan tinggi masih rada abstrak sepertinya di sebagian besar kalangan masyarakat. Mahasiswa yang kuliah di fakultas kedokteran dianggap lebih ‘waawww’ dibanding fakultas lain, tanpa melihat di perguruan tinggi mana ia, melalui jalur apa ia masuk, dan serba-serbi lainnya.

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, tak sedikit pula orang tua yang saklek menentukan kuliah kita berada, “Pokoknya, kamu harus kuliah di Bandung. Biar bisa lebih dekat.” Parahnya lagi, ada juga yang meminta kepada anaknya untuk kuliah di lokal saja sehingga si anak tetap satu atap dengan orang tuanya. Dari segi kemandirian, jelas selangkah lebih kalah dibanding dengan pelajar yang diberi kepercayaan penuh oleh orang tua dalam menentukan pilihan masa depannya.

Ada pula orang tua yang meminta kepada anaknya untuk mengikuti pilihan orang tuanya. “Kamu harus jadi dokter. Lihat si A atau si B. Anak teman mama juga di sana.” Atau, “Lebih baik jadi PNS. Digaji negara, jadwal juga teratur.” Dan pelbagai rajukan lain. Memang, tak ada salahnya orang tua menyarankan, namun tetap, semuanya harus dikomparasikan dengan kompetensi, minat, mental, dan spiritual anak.

Namun, ada kisah menarik lain. Si anak dibebaskan untuk memilih perguruan tinggi, namun tidak berdasarkan kata hati. Akan tetapi berdasarkan gengsi universitas/institute/sekolah tinggi, atau fakultasnya, dan ada pula yang terpengaruh oleh teman-temannya. Sehingga, kuliahpun tidak dilakoni dengan sepenuh hati, hasil tak maksimal, uangpun terbuang percuma, dan yang paling menyedihkan adalah mengecewakan orang tua.

Hal-hal kecil seperti itu mungkin dianggap kecil. Namun, jangan sampai diremehkan. Keinginan kita sebagai anak harus sejalan juga dengan keinginan orang tua. Kuliahpun tidak sekedar kuliah. Tapi harus jelas ke mana juntrungannya.

Sarjana menganggur yang kerapkali menjadi sorotan media, tak menutup kemungkinan karena hal sederhana seperti yang disebut di atas. Sederhananya, kita harus memberikan keleluasaan nurani untuk menentukan pilihan masa depan yang sesuai dengan minat dan bakat. Namun dalam menentukan finalnya, jangan sampai menutup diri dari saran dan pengalaman orang-orang yang sudah merasakan asam garam.

Setiap manusia dianugerahi potensi yang seimbang. Namun melejit tidaknya, tergantung dari ikhtiar dan doa yang dilakukan. Kita harus berani bermimpi dan kuat dalam memperjuangkan demi terwujudnya mimpi tersebut. Dengan mimpi, keikhlasan, ikhtiar, dan doa, meski kenyataan tidak sesuai dengan rencana, semua akan menjadi indah sumber kekuatan yang maha dahsyat, karena Allah memiliki skeario yang indah dan unik untuk meng-up grade diri setiap umat-Nya.

***

Rasa gentar dan khawatir mungkin dirasakan oleh beberapa siswa, khususnya kelas XII yang sedang bersiap mengumpulkan ‘senapan dan suplemen’ untuk kekuatan menghadapi ujian yang di depan mata. Waktu tak bisa dihentikan barang sedetikpun. Mari rencanakan masa depan yang apik dan indah dengan persiapan yang matang, karena persiapan dan perencanaan yang tidak maksimal sama dengan merencanakan kegagalan. Buktikan kita bisa!

S. A. Deliabilda / XII IPA B

SMA Al Muttaqin

0 komentar: