RSS

Kolaborasi Menuju Masa Depan

Bagi teman-teman yang masih berkelit atau berdebat dengan keluarga, khususnya orang tua mengenai kuliah, saya punya sebuah cerita yang semoga bisa menginspirasi semua. Cerita ini mengalami beberapa pengubahan di beberapa bagian. Namun tidak mengurangi ruh dari cerita aslinya.

***

Sejak awal kelas XII, Abhiel, siswi di salah satu sekolah swasta terbaik di kotanya semakin giat dalam memahami dan mempelajari materi sebagai persiapan UN dan ujian masuk perguruan tinggi. Sejak kelas X, ia bertekad untuk masuk ke UI, universitas bervisi World Class University. Sayangnya, waktu itu tekad tersebut tidak dibarengi dengan fakultas dan jurusan yang diinginkan. Pokoknya UI!

Kecintaannya terhadap dunia sosial menguatkan tekadnya untuk memilih FISIP UI, Administrasi Negara. Maklum, kesenangannya adalah menulis. Karena FISIP merupakan jurusan IPS sedang ia di jurusan IPA, maka di akhir kelas XII sudah ia jadwalkan planning satu tahun ke depan, kapan belajar materi IPA dan materi IPS.

Namun, melihat pengalaman kakak kelas dan mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi, maka Abhiel memutuskan untuk mencari peluang di perguruan tinggi lain. Kebetulan, ia lebih berminat untuk kuliah di perguruan tinggi yang berada di kawasan barat.

Saat berpikir itulah, kedua orang tuanya menanyakan, akan ke manakah meneruskan sekolah(?). Orang tuanya memang sudah cukup sering menanyakan hal tersebut, namun dulu tidak terlalu serius, hanya bertanya dan meminta agar Abhiel tidak gegabah memilih jurusannya.

Namun kali itu berbeda. Ia seperti disidang dan suasanapun terasa formal. Dari penuturan orang tuanya, tersirat bahwa mereka tidak setuju akan pilihan Abhiel di FISIP. “Nantinya kerja di mana?” tanya orang tuanya.

Diskusi seperti itu menjadi sering dilakukan, apalagi saat Abhiel sudah menginjak kelas XII, karena itu artinya tinggal beberapa bulan lagi menuju ke perguruan tinggi. Orang tuanya sudah banyak merekomendasikan. ITB, IPB, UPI, UNPAD, STAN, dan beberapa perguruan tinggi lainnya beserta fakultas dan jurusannya. Dari semua perguruan tinggi yang ditawarkan, hanya IPB yang nyantol di hatinya. Rencananya, ia akan memilih ilmu komputer atau agronomi.

Bahasan mengenai perguruan tinggi tidak pernah ada habisnya. Orang tua, khususnya ayah, sempat meminta untuk mencari informasi lebih banyak tentang STAN. “Karena kebutuhan akan keuangan atau perekonomian tidak akan bisa lepas dari kehidupan masyarakat.” alasannya. Akhirnya Abhiel pun merekomendasikan STAN menjadi pilihan berikutnya.

Tak hanya dengan orag tua, ia berdiskusi pula dengan kakak kelas dan guru-gurunya. Karena ia bertekad untuk tidak merepotkan orang tua dalam hal finansial, Jurusan Penyiaran, Universitas Paramadina akan ia pilih melalui jalur Fellowship. Terlebih di sana bisa tinggal di asrama, tidak terlalu khawatir sekalipun di Jakarta.

Lama-kelamaan, ibunya malah menyarankan ke Fakultas Kedokteran dan memilih spesialisasi bedah. Abhiel sempat terbelalak. Jelas-jelas dari kecil Abhiel tidak ada niatan sedikitpun untuk memilih fakultas kedokteran. -_-“

Tak disangka tak dinyana, akhir Oktober sekolahnya mendapatkan surat dari UI. Ternyata, dari sekolahnya sebanyak dua orang (satu orang IPA dan satu orang IPS) berpeluang untuk menjadi mahasiswa UI melalui program PPKB, sejenis PMDK namun hanya diselenggarakan oleh UI.

Meski banyak siswa yang berminat untuk mengikuti program tersebut, tetap yang dilihat adalah nilai kognitif di rapor, kesediaan, dan yang paling utama adalah mental serta spiritualnya. Tekad sekolah pun tidak hanya sekedar masuk, namun harus memberi warna dan menjadi pionir dalam kegiatan positif.

Setelah melalui seleksi administrasi, psikotes, dan kesediaan, akhirnya ia terpilih menjadi perwakilan kelas IPA. Di tengah kepadatan jadwal ujian semester dan mengurus portofolio sebagai bukti fisik yang akan dikirimkan ke UI, ia masih cukup kebingungan, ke manakah akhirnya tujuan itu berlabuh?

Berkali-kali ia buka situs www.ui.ac.id. Sebenarnya ia tetap ngotot untuk memilih Administrasi Negara, FISIP, tetapi orang tuanya kurang menyetujui. Terlebih Abhiel adalah anak IPA, kalau memilih jurusan IPS, untuk apa belajar di SMA di jurusan IPA? “Justru ke-IPA-annya diragukan.” jelas orang tuanya.

Abhiel tersadar. Orang tuanya benar. Ia anak IPA dan harus menunjukkan ke-IPA-annya. Bukan malah melenceng ke jurusan lain, meski tak ada salahnya juga.

FK (Fakultas Kedokteran)? No. FMIPA (Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam)? Hmm… Jangan. FT (Fakultas Teknik)? Duhh… Tak terbayangkan (kurang begitu bagus dalam menggambar. Hehehe…). FKM (Fakultas Kesehatan Masyarakat)? Perlu dicoba! Akhirnya, dengan memanfaatkan hot spot di depstore (department store-red), ia cari tahu tentang FKM.

Matanya berseri saat membaca salah satu departemen di FKM. Ada AKK (Administrasi Kebijakan Kesehatan). Ia tertarik pada ‘administrasi’nya. Terlebih, peminatan yang bisa dipilihnya ada Manajemen Rumah Sakit, yang berdasarkan banyak informasi, hingga saat ini manajerial rumah sakit masih belum maksimal. Siippp… “I’ll choose it!” gumamnya dalam hati. Bismillahirrohmaanirrahiim, lanjutnya seraya tersenyum.

Abhiel mengutarakan keinginannya untuk memilih FKM. Ia juga menjelaskan dengan semangat tentang AKK dan manajemen rumah sakit serta planning-nya ke depan. “Bagus itu. Bidang yang digeluti tetap IPA, mengurus keuangan juga, dan yang pasti berbau sosial. Iya, kan, Kak?” Subhanallah, Abhiel baru sadar bahwa pilihannya itu merupakan gabungan dari tiga keinginan. Keinginan ibunya untuk tetap memilih jurusan IPA, terlebih kesehatan. Keinginan ayahnya untuk kuliah di STAN, mengurus keuangan. Dan yang paling penting, ia bisa tetap berkecimpung di dunia sosial.

Tahukah teman-teman, Abhiel memutuskan untuk memilih FKM itu seminggu sebelum pengiriman. Sungguh saat-saat yang mendebarkan baginya. Apalagi ia sempat hampir ‘selingkuh’ lagi ke FISIP, tiga hari sebelum pengiriman. Ia sampai menangis dan galau. Akhirnya, untuk menguatkan hati di FKM, ia menuliskan kesungguhannya di FKM di beberapa kertas HVS dengan tulisan besar menggunakan spidol. Setelah itu, ia tempelkan sampai memenuhi dinding-dinding kamarnya. Setiap sebelum tidur, ia baca berulang-ulang dengan harapan bisa masuk ke alam bawah sadar dan berdoa agar Allah bisa meridhoinya.

Dalam shalatnya pun ia selalu berdoa, “Ya Allah, jika menurut Engkau FKM UI adalah yang terbaik bagi hamba, luluskanlah hamba di PPKB ini dan jauhkanlah dari sifat sombong dan tinggi hati. Namun, apabila ada fakultas atau perguruan tinggi lain yang lebih Engkau ridhoi, jangan buat hamba terlalu berharap lebih di PPKB. Izinkanlah hamba untuk kuat dalam melampaui ujian-ujian lain. Tunjukkanlah fakultas atau perguruan tinggi yang Engkau ridhoi dan berikanlah hamba kelapangdadaan.”

Sabtu, 16 Januari sekira pukul 00.14, ia mendapat sms dari guru dan orang tuanya. Alhamdulillah, ternyata Allah mengizinkannya untuk kuliah di FKM UI. Semoga bisa menjadi yang terbaik di UI sana. Amin.

***

Begitulah cerita salah satu sobat Saba Sakola, Abhiel. Semoga terinspirasi, baik bagi teman-teman maupun para ayah dan ibu. Sungguh, skenario Allah indah dan tak diduga.

S. A. Deliabilda / XII IPA B

SMA Al Muttaqin

1 komentar:

Noviaji Joko Priono mengatakan...

wah... Ceritanya di sajikan sangat menarik.. Gak bilang juga ne ada blog.... Yo follow my blog del.