Ternyata, tawanya mampu menjinakkan terik yang membumbung seharian itu. Hawa Tasikmalaya siang itu cukup membuat tubuh banjir keringat. Sepertinya sang Resik ini mulai tersingkirkan oleh deretan beton-beton yang terus saja bertambah. Hingga sepoinya tiupan angin melalui lambaian dahan tak bisa menembus iga.
Sebuah potret tanda kehidupan metro mulai bergerilya menimpa dunia buhun. Namun prospektivitas hal tersebut tak bisa begitu dinikmati oleh saudara kita yang terdengkur di pinggiran. Yang menunggu suapan dari saudaranya yang diamanati finansial berlebih.
Adalah bocah-bocah cilik tanpa busana saling adu air yang memancar lewat poros kran air di halaman mesjid Agung Tasikmalaya. Mereka tak pedulikan orang-orang yang berlalu-lalang lintasi trotoar, dan yang beribadah (dan melepas lelah sesaat, sepertinya). Miris juga melihatnya. Mungkin mereka berkeinginan untuk berenang di kolam renang. Namun apa daya, untuk makan sehari-hari saja tenaga mereka pun ikut dikerahkan.
Tak jauh dari ‘tempat bermain dadakan’ tersebut, seorang ibu bersama anak perempuannya yang berusia lebih muda dari bocah-bocah yang sedang bermain air, duduk di selasar mesjid dengan setumpuk baju dan sebuah karung di sampingnya. Bu Tati namanya. Sesekali matanya memperhatikan keasyikan mereka. Barangkali, takut terjadi apa-apa dengan para bocah. Jika tidak, matanya menerawang dengan sorotan penuh harap dan mimpi-mimpi yang masih terpendam. Sedang si Cantik duduk manis di pinggir ibunya sambil memegang sebuah mainan di tangannya.
Sempat saya berbincang dengan beliau, bercerita tentang episode demi episode drama memoriannya yang melewati buasnya kehidupan. Di tengah himpitan ekonomi dengan pengetahuan serta keterampilan yang terbatas, beliau memanfaatkan separuh raga dan kebiasaan buruk masyarakat yang masih melekat sampai sekarang.
Ya, beliau adalah seorang pemulung yang biasa bekerja di mesjid Agung dan sekitarnya. Memungut satu persatu sampah yang berserakan dan dimasukkannya ke dalam karung yang biasa beliau bawa sendiri. Bersama kawannya yang seprofesi, beliau mulai bekerja mendahului kokok ayam hingga menjelang magrib. Sayang, meskipun sudah bekerja menembus waktu, berkawan dengan debu, serta terkadang harus melawan hujan yang menyerbu, upah yang didapat tak begitu sebanding dengan apa yang telah beliau korbankan setiap harinya. Hanya Rp 8.000,00, dan penghasilannya akan meningkat jikalau banyak acara besar. Itupun hanya mencapai Rp 25.000,00.
Salah seorang bocah yang sedang bermain itu adalah anaknya. Sayang, saya lupa siapa nama anak itu. Yang pasti dia masih tercatat sebagai siswa salah satu SD di Kota Tasikmalaya dan duduk di kelas III.
“Itu anak saya.” tunjuknya ke arah sang buah hati. Saya pun menoleh, “terlihat asyik dunia mereka,” menggumam dalam hati. Memang itu hakikat anak-anak yang sesungguhnya, bukanlah memeras tenaga untuk mencari uang.
“Dia sekolah tidak, Bu?” saya bertanya dengan sedikit hati-hati. Takut beliau merasa tersinggung. “Alhamdulillah, meskipun saya hanya seorang pemulung, semangat saya untuk menyekolahkan anak-anak begitu besar. Saya tidak ingin anak-anak menjadi seperti ibunya lagi.”akunya. Tak ada gurat sedih dari rautnya, hanya ketabahan dan ketegaran menempuh universitas kehidupan.
“Sudah kelas berapa?"
“Sudah kelas III. Saya berharap bisa menyekolahkannya hingga kuliah. Sedang kakak-kakaknya tamatan SMA dan SMP. Yang tamat SMA sedang di Jakarta bersama Bapaknya. Dan yang tamatan SMP masih di Tasik. Sayang, dianya ‘g mau nerusin sekolah.” rautnya terlihat lebih masam dan muram dari sebelumnya.
Perbincangan berlanjut. Obrolan kami semakin hangat. Cita-cita luhurnya membuat hati bergetar dan tertunduk malu. Malu karena kesempatan yang Allah berikan lebih lapang daripada peluang yang didapat oleh bocah-bocah yang menjadi korban ketimpangan.
Oleh karena itu, beliau tidak pernah lelah untuk memotivasi anak-anaknya untuk selalu berjuang dalam memperoleh apa yang menjadi mimpi dan hak sebagai anak. Untunglah, bocah-bocahnya tidak merasa minder dengan kondisinya yang tak seberuntung kawan-kawannya yang lain dan masih menaruh hormat kepada orang tua. Bahkan, setiap pulang sekolah, dia mencari peruntungan di jalanan dengan menyumbangsihkan suaranya dari toko ke toko, dari mobil yang satu ke mobil yang lain untuk menambah kebutuhan sekolah dan uang saku serta tabungannya.
Mengenai biaya administrasi sekolah, beliau mengaku mendapat bantuan melalui beasiswa dan bantuan dari pemerintah yang disebut Biaya Operasional Sekolah (BOS). Sehingga bebannya pun tak begitu berat untuk meraih bintang yang masih menggantung di langit harapan.
***
Mengapa penulis menceritakan terlebih dahulu cuplikan perbincangan mengenai salah satu potret kehidupan kaum miskin di sekitar kita? Adalah sebuah edukasi yang sungguh luar biasa yang bisa dipetik dari sana. Banyak solusi yang bisa membantu memecahkan masalah yang sesungguhnya merupakan pilar menuju Indonesia yang lebih sejahtera.
Zakat dan kemiskinan adalah sebuah korelasi yang bertentangan namun jika dijalankan dengan baik maka akan menciptakan perpaduan yang simbiosis mutualisme.
Sebagian ulama fiqh mengungkapkan bahwa sesungguhnya sadaqah yang wajib itu adalah zakat. Dalam hadits Rasulullah SAW memberi jawaban kepada orang-orang miskin yang cemburu terhadap orang kaya yang banyak bershadaqoh dengan hartanya, beliau bersabda : "Setiap tasbih adalah shadaqoh, setiap takbir adalah shadaqoh, setiap tahmid adalah shadaqoh, setiap tahlil adalah shadaqoh, amar ma'ruf adalah shadaqoh, nahi munkar adalah shadaqoh, dan menyalurkan syahwatnya pada istri adalah shadaqoh". Shadaqoh juga bisa diartikan sebagai ungkapan kejujuran (shiddiq) iman seseorang.
Pendidikan merupakan kunci utama dan sebagai alat ukur kompetensi dan kesejahteraan seseorang. Bahkan dalam hadits pun dikatakan bahwa “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslimin dan muslimat yang beriman” karena dalam hadits lain pun diterangkan sersungguhnya “Barang siapa yang ingin berbahagia di dunia maka dengan ilmu, barang siapa yang ingin berbahagia di akhirat maka dengan ilmu, dan barang siapa yang ingin keduanya maka dengan ilmu”.
Namun sayang, di zaman ini uang telah menjadi salah satu standar baik dan buruk, serta bagus dan jeleknya sesuatu. Termasuk pendidikan di dalamnya. Terbukti berdasarkan pada data statistika pada tahun 2002 terdapat sekira 1,8 juta anak SD berusia 7-12 tahun dan 4,8 juta anak usia 13-15 tahun yang tidak sekolah. Dan meskipun kini proses Wajar Dikdas (Wajib Belajar Pendidikan Dasar) 9 tahun sudah mulai gencar digalakkan di setiap kabupaten/kota di Indonesia, pada tahun ajaran 2005-2006 dan 2006-2007 sebanyak 615.411 mutiara terpendam harus terkena drop out karena masalah biaya pendidikan yang terus melonjak.
Gubernur Jawa Barat, Bapak Hendryawan, Lc. yang ditemui di Ciamis mengungkapkan memang tidak ada pendidikan yang murah. “Justru dengan adanya bantuan pemerintah sebesar 20% pendidikan di Indonesia akan terbantu untuk lebih baik. Hal ini sebagai bukti perhatian pemerintah terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia.” terangnya.
Untuk mengantisipasi gangguan kesejahteraan masyarakat dalam hal pengembangan investasi Sumber Daya Manusia (SDM) dan masyarakat, Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat, Bapak Aburizal Bakrie mengungkapkan saat berdiskusi dengan penulis sesaat setelah Laporan Capaian Kinerja Menko Kesra Di hadapan Media Elektronik dan Media Cetak Nasional bahwa untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat, pemerintah mengklasifikasikan dalam beberapa klaster sesuai dengan persentase pengelolanya.
Klaster I, yaitu klaster yang diurusi langsung oleh pemerintah. Beberapa hal yang termasuk klaster I adalah raskin (beras miskin),BOS (Biaya Operasional Sekolah), BLT (Bantuan Langsung Tunai), dan Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat).
Pendidikan, dalam hal ini difasilitasi melalui BOS, termasuk ke dalam klaster pertama karena merupakan salah satu hal yang sangat krusial dan perlu diperhatikan lebih karena menyangkut masa depan bangsa.
Sedang klaster II merupakan klaster yang persentasi pengelolaannya adalah 50:50 antara pemerintah dengan masyarakat yang salah satu contohnya adalah PNPM Mandiri. Dan klaster III dipegang secara keseluruhan oleh masyarakat sedangkan pemerintah hanya mengawasi. Salah satunya adalah kredit usaha rakyat.
Dengan adanya rasa saling percaya, konsep yang jelas, serta dipegang oleh orang-orang yang memiliki rasa tanggung jawab tinggi, insya Allah tidak akan ada lagi masyarakat yang tuna karya serta generasi-generasi muda pun bisa mendapatkan apa yang menjadi haknya.
Kembali kepada hakikat perpaduan antara zakat dengan kemiskinan yang memiliki ikatan simbiosis mutualisme. Baik pemerintah maupun masyarakat menengah ke atas bisa berzakat kepada masyarakat yang masih tergolong menengah ke bawah dalam bentuk harta maupun finansial sedangkan masyarakat tingkat bawah bisa berzakat lewat tasbih, takbir, tahmid, maupun tahlil.
Yang saya maksud lewat tasbih, takbir, tahmid, maupun tahlil di sini adalah dalam bentuk lisan, pikiran, hati, dan perbuatan. Segala sikap, pikiran, dan perbuatan kaum miskin ini harus merefleksi makna tasbih, takbir, tahmid, dan tahlil. Jika hal ini terwujud dalam kehidupan sehari-hari, maka Indonesia akan terbebas dari yang namanya penyakit masyarakat.
Sedang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang bisa melekat seumur hidup dan tidak akan lekang dimakan waktu, kita bisa berzakat melalui zakat pendidikan. Maksud saya dengan menebar dan mengamalkan ilmu, masyarakat berbagai kalangan bisa melakukannya. Karena sesungguhnya yang merupakan katagori miskin itu bukanlah hanya miskin harta namun juga miskin ilmu.
Salah seorang cendikiawan Indonesia pun pernah melontarkan sebuah gagasan mengenai zakat pendidikan ini. Namun beliau menamakannya zakat profesi. Salah satu alasannya karena menangkap spirit keadilan Islam yang melarang harta hanya berputar di kelompok kaya saja (QS Al-Hasyir:7), orang bertaqwa adalah mereka yang menyadari bahwa dalam harta kekayaan yang dimiliki ada hak bagi gongan fakir dan miskin (QS Az-Zariyat:19), perhatian penuh harus dialamatkan kepada lapisan masyarakat yang hidup wajar sebagai manusia (QS Al-Haqqah:33-34; Al-Fajr:17-18; Al-Maun:1-2 dst).
Kesadaran berzakat memang belum melekat dan dijadikan kebiasaan masyarakat, khususnya di Tasikmalaya yang notabene kota Santri. Melalui sedikit curahan kata ini, saya berharap takkan ada lagi kemiskinan di negeri ini, baik karena miskin harta maupun miskin ilmu. Semoga takkan ada lagi bocah-bocah yang harus memeras tenaga demi sesuap nasi dan orang-orang yang namprakkeun leungeun tanpa usaha apapun. Dengan keyakinan yang kuat dan tingkat kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan sekitar, Insya Allah akan mengantarkan diri kita ke dalam kesempurnaan iman. Amin.
1 komentar:
MEREFLEKSIKAN PERAN PEMUDA UNTUK HARI ESOK.
Mengapa riskan, karena akan selalu melewatkan KITA DI HARI INI. Berdera akan selalu berkibar pada dimensi ruang dan waktunya. Pepatah Arab : Innal fata man yaqulu ha anadza, wa laisa al-fata man yaqulu kana abiy.. itu berlaku bukan sekedar tentang ego tapi menyangkut sikon aktual di mana dan kapan seorang pemuda hidup. Decak kagum buat pemuda jaman dulu belum sah di saat pemuda masa kini masih menggugat kondisi aktualnya. Maka sesungguhnya, jika memang harus ada dikotomi antara tua dan muda, biarlah itu sebatas dalam usia. Sementara dalam peran aktual harus senantiasa menjelma dalam satu sinergi tua dan muda yang enejik, satu koordinasi antara empiri dan idealisme. Kita sayangi adik kita, dia hormat pada kita, maka jadilah kerjasama. Rasa sayang dan hormat itu akan tumbuh terutama dari didikan dan suri tauladan orang tua.
Koreksi aktual masa kini, suri tauladan itu mungkin susah kita temukan saat ini, karena mungkin orang tua sekarang, ketika mereka masih muda, lupa merefleksikan peran kepemudaan orang tua mereka yang heroik untuk diaplikasikan pada masanya. Malah diproyeksikan untuk hari esok mereka ketika itu, alias untuk era kita di masa kini.
Finally, Youth Reflection will be better for the present day than for unpredictable tomorrow.....
Posting Komentar