Tahun Baru, Asa Baru, Prinsip Baru
Terima kasih tahun 2008. Selamat datang 2009. = )
Tahun 2008 telah beranjak sejak 31 Desember silam. Sudah saatnya kita memulai kehidupan bersama tahun 2009. Banyak hal yang terjadi selama setahun lalu. Tak sedikit perubahan yang dialami. Tawa diselingi luka. Duka temani suka. Terang bayangi gelap.
Adalah asa yang selalu menguatkan semangat yang hampir rapuh itu. Dan dengan usaha untuk mewujudkannya. Sudah hukum alam bahwa manusia tidaklah pernah puas dengan apa yang telah dimiliki. Bukan hanya karena dorongan nafsu belaka, namun juga akibat tuntutan kehidupan yang memaksa untuk tidak tinggal diam.
Kehidupan memang ganas. Kadang merodi manusia. Membuat manusia bekerja membabi buta hanya untuk bisa bertahan hidup. Namun, tetap saja kehidupan tidak akan bisa ‘hidup’ jika tidak dibarengi dengan karakter-karakter untuk tameng tantangan yang bisa membuat stress, bahkan gila! Hanya untuk sebuah kata. Sukses.
Salah satu bangsa yang memiliki daya tahan stress tinggi adalah Jepang. Bangsa yang sepertinya sudah siap menjawab berbagai tantangan zaman. Padahal, melihat sejarahnya masa lalu, Jepang merupakan salah satu bangsa yang pernah dijajah dan tidak memiliki banyak sumber daya alam. Bahkan dua kota besar, Hirosima dan Nagasaki pernah dibom saat detik terakhir kemerdekaan Indonesia.
Tapi, mengapa Jepang bisa melesat jauh meninggalkan negara-negara berkembang lainnya dan memposisikan diri sebagai negara maju dan salah satu Macan Asia?
10 Resep
Beberapa waktu ke belakang, Saba Sakola yang diwakili Q Smart SMA Al Muttaqin mendapat email dari Pak Romi Satria Wahono, suami dari salah seorang guru yang pernah mengabdi di SMA Al Muttaqin dan kini sedang bekerja di Jepang.
Dalam email tersebut, beliau lampirkan pula sepuluh resep sukses bangsa Jepang yang beliau tangkap di seberang sana. Resep ini bisa menjadi salah satu alernatif untuk perubahan di tahun mendatang. Orang Jepang aja bisa, masa Indonesia tidak?!
Resep pertama adalah kerja keras. Orang Jepang memang sangat terkenal dengan kegigihan dan kerja kerasnya dalam bekerja. Saking gigihnya, rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun. Berbeda dengan negara maju lainnya seperti Amerika yang hanya 1957 jam/tahun, Inggris 1911 jam/tahun, Jerman 1870 jam/tahun, atau Perancis 1680 jam/tahun. Bahkan seorang pegawai Jepang bisa menghasilkan sebuha mobil hanya dalam kurun 9 hari sedang negara lain selama 47 hari untuk membuat mobil yang sama.
Karena begitu berpegang pada prinsip kerja kerasnya itulah pulang awal waktu merupakan hal tabu bagi mereka. Pulang cepat bisa dikatakan memalukan dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk yang tidak dibutuhkan oleh perusahaan.
Sifat malu itu memang merupakan salah satu budaya turun temurun dari leluhurnya. Sejak era samurai, hara-kiri (bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut-red) sudah menjadi ritual tatkala kalah dalam pertempuran.
Di dunia modern, wacananya bergeser ke fenomena mengundurkan diri bagi pejabat yang terlibat masalah atau merasa gagal dalam menjalankan tugas. Namun, rasa malu ini agak member efek negatif kepada pelajar yang sulit mengontrol diri. Di saat nilainya jelek atau tidak naik kelas, anak SD atau SMP kadang bunuh diri.
Di sisi lain, orang Jepang lebih senang memilih jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan. Mereka malu apabila melanggar norma ataupun aturan yang sudah menjadi kesepakatan umum.
Selain kerja keras dan malu, karakter lain yang bisa dipelajari dari orang Jepang adalah semangat hidup hemat dalam keseharian. Ada sebuah pengalaman yang agak mengherankan buat Pak Romi. Orang Jepang ramai berbelanja di supermarket sekitar pukul 19.30. Ternyata sudah menjadi hal yang lumrah bahwa supermarket di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup. Biasanya supermarket di Jepang memang tutup pada pukul 20.00.
Resep keempat adalah loyalitas. Sangat berbeda dengan system di Amerika dan Eropa, sangat jarang orang Jepang berpindah-pindah pekerjaan. Biasanya mereka bertahan di satu atau dua perusahaan sampai pensiun. Sepertinya, ini merupakan implikasi dari industri Jepang yang kebanyakan hanya mau menerima fresh graduate yang kemudian mereka latih dan didik sendiri sesuai dengan bidang garapan perusahaan.
Sudah menjadi rahasia umum kalau Jepang merupakan negara yang kreatif dan inovatif. Meskipun Jepang bukanlah bangsa penemu, namun mereka mempunyai kelebihan dalam hal meracik dan kemudian memasarkannya dalam bentuk yang diminati masyarakat.
Seperti kisah Akio Morita yang mengembangkan Sony Walkman. Kaset tape tidak ditemukan oleh Sony, tapi yang berhasil mengembangkan dan membuilding model portable sbagai sebuah produk yang booming selama puluhan tahun adalah Akio Morita, founder dan CEO Sony pada masa itu.
Termasuk juga dalam teknik perakitan kendaraan roda empat. Sebenarnya, patennya dimiliki orang Amerika. Tetapi Jepang bisa mengembangkan industry perakitan kendaraan yang lebih cepat dan murah.
Karakter pantang menyerah dan tahan banting juga menjadi kekuatan sukses bangsa Jepang. Puluhan tahun di bawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke luar negeri menjadikan Jepang sebagai negara yang sangat tertinggal teknologi. Kemiskinan sumber daya alam malah membuat Jepang bermental baja. Padahal sekira 85% sumber daya alamnya merupakan impor dari luar negeri, termasuk Indonesia.
Puncak terombang-ambingnya Jepang pada tahun 1945. Mulai dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Kemudian disusul dengan kalahnya perang Jepang. Ditambahi gempa bumi besar di Tokyo. Namun, beberapa tahun berikutnya Jepang mulai merangkak lagi dan berhasil membangun industry otomotif dan bahkan kereta cepat (shinkansen). Yang cukup unik, ilmu dan teori di mana orang harus belajar dari kegagalan ini mulai diformulasikan di Jepang dengan nama shippaigaku (ilmu kegagalan).
Inovasinya yang tidak pernah berhenti mungkin salah satu penyebabnya adalah budaya membaca, baik buku atupun Koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, di densha (kereta listrik) banyak dimanfaatkan untuk membaca.
Pelajaran-pelajaran sekolah pun dikemas semenarik mungkin. Banhkan, banyak penerbit yng muali membuat manga (komik bergambar) untuk materi kurikulum sekolah, baik SD, SMP, maupun SMA. Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing, baik itu bahasa Inggris, Perancis, Jerman, maupun negara-negara lainnya.
Kabarnya, legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai sejak 1684 seiring dengan dibangunnya institut penerjemahan dan terus berkembang sampai zaman modern ini. Biasanya, terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam beberapa minggu sjak buku asing diterbitkan.
Kerja sama kelompok menjadi salah satu cara orang Jepang untuk menyelesaikan pekerjaannya. Budaya di Jepang memang tidak terlalu mengakomodir kerja-kerja yang bersifat individualistik. Tak hanya dalam dunia kerja, kondisi kampus dengan penelitiannya juga seperti itu, termasuk dalam pengerjaan tugas mata kuliah. Bahkan ada anekdot bahwa “Seorang professor Jepang akan kalah dengan seorang professor Amerika, namun sepuluh professor Amerika tidak bisa mengalahkan sepuluh professor Jepang.”
Meskipun lebih mengutamakan kelompok, sejak kecil anak-anak sudah dilatih untuk mandiri. Seorang anak TK saja harus membawa tiga tas besar berisi pakaian ganti, bento (bungkusan makan siang), sepatu ganti, buku-buku, handuk, dan sebotol besar minuman yang meggantung di lehernya. Yochien, salah satu TK yang ada di Jepang, setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri dna bertanggungjawab terhadap barang miliknya sendiri.
Lepas SMA dan masuk bangku kuliah hampir sebagian besar tidak meminta biaya kepada orang tua dengan mengandalkan kerja part time untuk biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari. kalaupun kehabisan uang, mereka meminjam uang ke orang tua dan akan dikembalikan di bulan berikutnya.
Resep terakhir yang melekat di jiwa orang Jepang adalah tidak menghilangkan tradisi dan budayanya. Salah satunya adalah budaya perempuan yang sudah menikah untuk tidka bekerja masih ada dan hidup hingga saat ini. Selain itu, budaya minta maaf masih reflek orang Jepang. Orang Jepang pun relative menghindari berkata “tidak” apabila mendapat tawaran dari orang lain.
Kesepuluh resep sukses bangsa Jepang di atas memang cukup sederhana, namun sulit untuk dilaksanakan. Sebuah perpaduan manis yang bisa mengantarkan menuju gerbang kesuksesan. Jika karakter ini kurang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia, kita bisa khan dengan meracik resep-resep di atas sesuai dengan culture kita? Mari, siap hadapi tahun baru, siap hadapi tantangan baru!
S. A. Deliabilda / XI Exact 2
GSM / Q Smart
SMA Al Muttaqin
GSM / Q Smart
SMA Al Muttaqin
0 komentar:
Posting Komentar