The Young Generation Must be Agent of Change
Hawa kebangkitan pemuda masih terasa hangat hingga saat ini. Oktober dan November adalah masanya bagi kita, para generasi muda untuk lebih memompa motivasi dan spirit guna mempersiapkan diri menjadi generasi yang lebih unggul.
Namun, untuk memperkaya pengetahuan, tidak cukup berjalan sendiri. Dibutuhkan seseorang yang mampu membimbing dan mengarahkan. Adalah guru, seorang pahlawan yang acuhkan tetesan keringat dan kotornya tangan oleh debu kapur. Akan tetapi, terkadang justru guru menjadi bahan olok-olokan lantaran ciri khasnya yang aneh atau cara mengajarnya yang tidak klop dengan kita.
Mungkin inilah salah satu penyebab mengapa Indonesia sulit untuk berubah ke arah yang lebih baik. Moral yang tak sesuai dengan norma. Padahal negara yang kecepatan majunya cukup pesat begitu hormat dan patuh kepada guru. “Cina dan Malaysia adalah dua negara yang semakin maju. Namun, mereka justru sangat hormat kepada gurunya.” Ujar Pak Dadan Ali Sundana, General Manager Radar Tasikmalaya saat diskusi dengan Q Smart dan tim IT SMA Al Muttaqin serta Q Taz SMP Al Muttaqin.
Sebagai asset yang akan diandalkan, perlu moral dan berakhlakul karimah. Hingga saat ini, setiap hari kita disajikan dengan berbagai tindak kriminal. Entah korupsi, bentrokan, demo yang berujung anarkis, hingga tindakan asusila. Begitu miris menyaksikan moral bangsa yang katanya negara beragama kuat. Bahkan di setiap tahunnya jumlah yang melaksanakan ibadah haji meningkat, namun justru moralitasnya yang menurun.
Saya begitu tertarik mendengar penuturan Pak Dadan yang menceritakan perilaku orang Indonesia dan orang asing saat berwisata. “Orang Indonesia itu kalau pergi berwisata hal pertama yang dilakukan adalah belanja.” Kata Pak Dadan.
Sedangkan, tambahnya, warga negara lain begitu teliti dan benar-benar menikmati wisatanya dengan mengumpulkan data-data untuk menambah pengetahuan. Bukan berbelanja.
Selain itu, budaya ngaret masih saja menjadi hal yang melekat pada diri kita. Saya sedih saat membaca dalam buku ‘Harus Bisa!’ yang merupakan catatan perjalanan SBY selama tiga tahun terakhir menjadi presiden. Di buku tersebut diceritakan bahwa budaya ngaret menjadi salah satu hal yang masih melekat dalam jiwa pemimpin-pemimpin umat muslim.
Saat itu Presiden SBY mendapat undangan untuk menghadiri KTT OKI ke-11 di Dakar, Senegal. Menurut undangan, acara dimulai pada pukul 09.00 waktu setempat. SBY dijadwalkan untuk berpidato bersama Presiden Afghanistan, Hamid Karzai, dan pemimpin lainnya.
SBY datang 5 menit lebih awal dari yang dijadwalkan. Namun apa yang terjadi. Ruang sidang kosong dan belum ada satupun delegasi yang hadir. Yang ada hanya cleaning service yang sedang membersihkan ruangan. Ruangan sidang baru mulai penuh jam 10.30, satu setengah jam dari yang dijadwalkan! Sungguh ironi.
Salah satu jalan untuk mengubah wajah Indonesia menjadi lebih bersinar di kemudian hari adalah dengan menulis. Namun dalam penyelenggaraannya, sebagai pengontrol social, pers harus mampu menguasai massa dan memiliki ikatan bathin dengan pembaca. Namun, bagaimanapun seorang penulis harus bersikap jujur, adil, dan objektif. Dengan menulis pulalah bisa merangsang tumbuh dan lahirnya orang hebat di daerah.
Jepang, sebuah negara yang sudah berada beberapa tingkat lebih tinggi daripada Indonesia memiliki sebuah surat kabar yang terbitnya dua kali sehari. Dan yang lebih hebatnya lagi, setiap kali terbit dicetak hingga mencapai 11.000 eksemplar. Ini sebagai bukti bahwa daya tarik untuk membaca dan melahap informasi di Jepang sangat tinggi.
Sebagai seorang muda yang ingin memajukan negeri, saya berharap kepedulian terhaap integritas bangsa semakin tumbuh dan menjadi salah satu batu loncatan menuju Indonesia yang lebih baik lagi.
S. A. Deliabilda
Q Smart SMA Al Muttaqin
Q Smart SMA Al Muttaqin
0 komentar:
Posting Komentar