Penjagaan di Ciawi Lebih Ketat
Entah mengapa, meskipun masa yang datang lebih sedikit dari pada saat di Pesantren Cipasung, di Imah Tasik, Ciawi penjagaannya lebih ketat. Sehingga komunikasi dengan Bapak dan Ibu pun kurang. Kontras sekali saat di Cipasung.
Apalagi kami tak bisa mengikuti tanya jawab antara pemimpin dan rakyat, terutama dalam hal pertanian, karena untuk di Ciawi kami tidak mempunyai kartu tanda pengenalnya.
Surat sudah dipegang. Tadinya kami akan memberikan surat tersebut saat beliau datang. Namun, penjagaannya semakin ketat saja. Apalagi kepada kami (Meski itu baru perasaan saja).
Meski tak bisa berkomunikasi secara langsung, kami tetap tak gentar. Akhirnya kami sampaikan surat tersebut kepada ajudannya. “Tolong sampaikan surat ini ya, Pak. Ada yang untuk Bapak, ada juga yang untuk Ibu.” jelas kami. “Iya, Dik. Nanti saya sampaikan dua-duanya ke Bapak dan Ibu.”
Untuk mengisi waktu kami menunggu kepergian Bapak dan Ibu yang masih berada di dalam gedung, kami sempat mewawancarai beberapa orang. Salah satunya Pak Rudiawan Wibowo. Beliau adalah transporter (supir-red) pribadi Pak Presiden sejak Pak Presiden dilantik, 2004 lalu.
Selain itu, kami juga mewawancarai Mr. Rafael Pena, President – Chairman of Global Quest Management Asia, Malaysia. Karena beliau belum bisa menggunakan bahasa Indonesia, akhirnya obrolan kami menggunakan bahasa Inggris.
Perbincangan kami menjadi suatu hal menarik perhatian. Sehingga satu persatu orang mulai ikut berdiskusi bersama tentang dunia pertanian.
Setelah berbincang cukup lama, terlihat penjagaan mulai semakin rapat. Sepertinya Bapak dan Ibu Presiden akan segera keluar. Satu persatu langkah kami maju mendekat mobil. Salah seorang Paspamres berkata, “Jangan seperti tadi malam lagi ya. Kita saling menghargai posisi masing-masing aja, ya.”
“Iya, Pak. Tenang aja. Kita ‘ga bakalan lari atau melakukan hal aneh kok. Kami cuma ingin berdiri di sini. Boleh kan, Pak?”
Bapak tersebut hanya mengangguk sambil tersenyum. Tak lama Bapak dan Ibu keluar dari ‘Imah Tasik’. Karena jika kami menghampiri adalah sebuah kemustahilan pada saat itu, akhirnya sebelum Bapak dan Ibu masuk ke mobil kami menyapa, “Ibu... Bapak...” seraya melambaikan tangan.
Bapak dan Ibu menoleh beliau tersenyum sambil menunjuk ke arah kami. Sepertinya beliau masih ingat pada kami setelah kejadian tadi malam. Saat itu, telihat Ibu akan menghampiri kami, namun karena jadwal berangkat sebentar lagi dan ajudannya melarang, maka Ibu hanya melambaikan tangan kepada kami. Semoga lambaian ini bukanlah lambaian terakhir sehingga kami bisa bersua kembali lain waktu.
Delia, Faridah, Riksa, Devan, Kevin
Q Smart
0 komentar:
Posting Komentar