RSS

Membuka Tabir Keselamatan Dunia

Judul Buku : Amerika Perangi Teroris Bukan Islam

Penulis : M. Hilaly Basya & David K. Alka

Kata Pengantar : Prof. Dr. A. Syafii Maarif

Cetakan : ke-1

Penerbit : Canter For Moderate Moslem (CMM), Jakarta, Juli 2004

Tebal : X, 123 halaman

Aksi teror dan keberadaan terorisme merupakan sebuah momok yang menakutkan. Bukan hanya bagi Amerika Serikat yang pernah menjadi salah satu sasaran terorisme pada tragedi 11 September 2001, namun juga mengganggu stabilitas serta mengancam perdamaian di seluruh dunia.

Jauh di luar berbincangan, baik itu bersimpati ataupun memaki, aksi terror merupakan sebuah jalan buntu bagi orang-orang yang sesak napas. Para teroris seprtinya kesulitan dalam menjalin sebuah perdamaian dan kesejateraan sehingga para teroris lebih memilih jalan self defeating (menghancurkan diri sendiri). “Ketidakberdayaan yang beringas” membuat mereka berbelok arah dari jalur yang lebih elegan dan mengesankan menjadi arus kekerasan.

Sebuah pengantar dari Prof. Dr. A. Syafii Maarif yang mengharapkan umat Islam dan Amerika yang sama-sama mencintai kedamaian, bisa menertibkan dan menciptakan sebuah perdamaian bersama masyaakat dunia. Bagaimana pun, terorisme harus tetap dibumihanguskan.

Pasca tragedi World Trade Cernter (WTC) yang disarankan kepada pihak Amerika mendapat respons dari berbagai belahan bumi. Kebanyakan dari mereka mengutuk para pelaku terror dan mengusung ucapan duka cita akan kematian para manusia yang tidak bersalah. Tidak tanggung-tanggung, yang berucap demikian itu kebanyakan petinggi pegara Timur Tengah yang notabene selama ini mendapar perlakuan yang kurang proporsional. Di antaranya Yaser Arafat, Kuba yang melalui Menteri Luar Negerinya (Felipe Perez Roque), Presiden Iran (Muhammad Khatami), dan Menteri Luar Negeri Taliban (Wakil Ahmed Mutawakil).

Kesedihan dan kemarahan tersebut dilihat dari sudut pandang kemanusiaan karena merupakan suatu kejahatan kemanusiaan yang bersifat kriminalitas yang tidak bisa dimaafkan. Meskipun semua itu dilatarbelakangi ketidakadilan AS terhadap beberapa Negara Timur Tengah.

Benteng antara blok Barat dan blok Timur telah sejak lama memisahkan dunia. Definisi Barat didasarkan pada persamaan sejarah, bahasa, budaya, tradisis dan agama. Sedangkan blok Timur didefinisikan sebagai islam yang hidup di sekitar Timur-Tengah.

Perbedaan tersebut semakin mengkristalkan kedua kubu yang masing-masing ingin memiliki citra diri tersediri. Obsesi tersebut membuka sebuah dialog peradaban yang tujuan akhirnya menciptakan dunia yang penuh kedamaian, tanpa konflik destrutif dan perang.

Kekhawatiran akan munculnya ketegangan baru yang bukan tidak mungkin akan kembali memanaskan suasana global. Tuduhan AS terhadap Afganistan semakin memantapkan kekhawatiran terjadi benturan Barat-Islam. Apalagi pada tanggal 20 September 2001, George W. Bush mengumumkan bahwa AS akan berjihad melawan terorisme. Keprihatinan dan empati yang ditujukan kepada AS seketika berubah menjadi segumpal kecemasan akan dampak global yang ditimbulkan. Rahul Mahajan, yang mencermati pidato Bush, memberikan komentar dan menyiratkan kecurigaan serta tuduhan kepada masyarakat Timur Tengah sebagai teroris.

Sesungguhnya, apakah makna dari teroris itu sendiri? Menurut Martha Crenshaw, terorismen adalah sebuah organisasi yang memiliki kesepakatan dalam penggunaan strategi dengan jalan kekerasan atau terror untuk mencapai tujuan, baik yang berseifat politis maupun ideologis strategis.

Afganistan adalah negara yang mayoritas beragama Islam. Namun, patutkah AS menuding bahwa ada kelompok teroris di Afganistan? Kebijakan AS untuk mengejar dan menangkap aktivis Al Qaeda beserta jaringannya adalah suatu implementasi dari sikap terhadap kejahatan terorisme yang kerapkali mengorbankan masyarakat tak berdosa.

Mazhab realisme yang dipegang oleh AS semakin menguat manakala peristiwa 11 September 2001 terjadi. Selama ini AS kerapkali mengumandangkan demokrasi, kebebasan, dan perdamaian dunia. Dan tanpa pernyataan yang jelas, AS mengatakan bahwa Al Qaeda, sebuah organisasi yang dipimpin Osama, adalah dalang di balik peristiwa 11 September. Sayangnya, perang yang dialamatkan kepada Al Qaeda ini tanpa didasari oleh bukti-bukti yang kuat dan sekedar mencari kambing hitam dengan mengatasnamakan Piagam PBB.

Ketidakadilan dalam politik luar negeri AS ternyata dirasakan pula oleh kalangan Barat sendiri, salah satunya Chomsky. Dalam sudut pandang kacamatanya, kekuatan militer yang digunakanAS dengan justifikasi Piagam PBB adalah sebuah terorisme yang tidak kurang jahat dari terror yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil.

Perang salib yang diserukan pemerintah AS tidak bermaksud untuk membangkitkan kenangan lama perang Islam-Kristen yang dahulu disebut perang Salib. Perlu dipertegas, bahwa AS sebenarnya tidak sedang berperang melawan umat Islam. Namun, tampaknya doktrin Kristen yang tertanam dalamjiwa pemimpin AS-lah yang membuat istilah-istilah sacral tersebut diadopsi dalam wilayah negara yang bersifat profan. Meskipun seringkali terorisme dan Islam dipadukan sehingga menimbulkan kesan bahwa Al Qaeda dan Osama adalah representasi kekuatan Islam yang sedang menggeliat dan memberontak dengan menggunakan aksi terror atau kekerasan.

Aksi terror layaknya sebuah panggung drama di mana para pemain hanya sebagai figure karena yang menjadi sasaran adalah penontonnya, masa.

Terrorisme gaya baru mengandung beberapa karakteristik. Pertama, ada maksimalisasi korban secara mengerikan. Kedua, keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secaa internasional secepat mungkin. Ketiga, tidak ada yang pernah membuat klain terhadap terorisme yang sudah dilakukan. Keempat, serangan terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi. Terorisme gaya baru ini dapat menyerang apa saja.

Bukan hanya melawan terorisme dalam ‘kandang’, namun menumpas terorisme di luar medan perang pun harus dilakukan, mulai dari diplomasi hingga pmbekuan asset financial.

Strategi AS bukan sekedar menangani ancaman nyata, namun mengalahkan sumber ancaman itu. Walau pemerintah AS tampaknya berhasil mengembangkan strategi kebijakan luar negeri yang masuk akal, tak mudah membuat orang mengerti kebijakan tersebut. Strategi presiden pertama kali dijabarkan secara terbuka pada September 2002 dalam Strategi Keamanan Nasional AS (National Security Strategy of the United States/NSS). Dalam dokumen setebal 40 halaman itu dijabarkan tentang prioritas kebijakan AS sebagai sebuah strategi yang integras secara luas dan dalam, sesuai kesempatan maupun tantangan yang dihadapi AS.

Menjalin hubungan sebaik mungkin dengan negara lain, kecil maupun besar, lama atau baru merupakan salah satu strategi yang diluncurkan AS. Upaya AS untuk mengawasi proliferasi senjata pemusnah missal (WMD) juga menjadi bagian strateginya.

Munculnyafundamentalisme dilatarbelakangi oleh berbagai factor yang sangat kompleks dan pelik, yang tidak semata-mata murni bersifat keagamaan, namun berkaitan dengan kepentingan politik, ekonomi, social, dan ideologis. Manusia telah berperan untuk memperbaharui peran agam di berbagai wilayah dunia, namun kesucian agama telah tereduksi oleh suatu interest tertentu yang akan membahayakan kedamaian umat manusia itu sendiri. Agama telah tercampur dengan ekspresi-ekspresi kekerasan dari aspirasi-aspirasi social, kebanggaan personal, dan gerakan-gerakan untuk perubahan politik.

Di mata AS yang diungkapkan oleh Meridian dalam pidatonya, Island an wilayah Timur Tengah merupakan suatu kekuatan peradaban histories di antara banyak kekuatan yang telah mempengaruhi dan memperkaya kebudayaan mereka. Samuel P. Huntingon dalam bukunya, Clash of Civilization menjelaskna bahwa dunia sekarang semakin menyempit sedangkan interaksi semakin meningkat. Kesadaran akan adanya perbedaan antara Barat dan Islam yang semakin menguat bisa menciptakan relasi Barat-Islam yang konfrontatif. Namun, secara tegas pernyataan ini dibantah, terutama oleh Bill Clinton, sebab musuh AS adalah terorisme, baik bersifat agama maupun sekuler.

Upaya untuk memperbaiki hubungan dengan jalan dialog peradaban menimbulkan energi positif. Dialog peradaban ingin mengurai kesalahfahaman yang terjadi. Tetapi, kemunculan orientalisme bertolakbelakang dari Eurosentrisme, yakni sikap yang secara tidak kritis menganggap Eropa (Barat) superior ketimbang Timur. Barat yang menggunakan standar-standar berpikir ilmiah berhak untuk emnilai dan menghakimi kebudayaan lain.

Dalam perspektif AS, Islam adalah sosok yang memiliki nilai-nilai selaras dengan AS sehingga tidak mengganggu kenyamanan AS. Selain itu, Islam merupakan sebuah kekuatan besar untuk toleransi dan moderasi di dunia ini. Islam juga memberi kontribusi yang signifikan dalam pencerahan di Barat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Islam merupakan sebuah peradaban besar yang berpotensi untuk menjadi mantra dalam menciptakan perdamaian global. Dan mengenai keterkaitan Islam dengan terorisme, menurut pandangan AS, hal ini disebabkan oleh adanya perlibatan agama dalam aktivitas terorisme sehingga mengesankan bahwa Islam mengajarkan sikap terror untuk mencapai tujuannya.

Ulasannya yang lugas menyiratkan makna bahwa perbedaan dan misunderstanding dapat membuat kisruh suatu Negara, bahkan merusak perdamaian dan kesejahteraan dunia. Bahasanya yang agak ‘mengerucut’ sulit untuk diartikan oleh kalangan yang kurang mengerti titik permasalahannya. Apabila pembaca sering berpolitis, bacaan ini sangat menarik.

Bagi para pelajar yang ingin terjun di dunia politik, buku ini bisa dijadikan salah satu pengajar. Namun, bagi pelajar yang tidak akan terjun ke dunia politik pun bisa membaca buku ini karena dapat mempertajam dengan asahan berpikir kritis dan menjadi calon generasi muda yang pintar, yakni generasi muda yang belajar dari pengalaman orang lain.*

0 komentar: