MEREFLEKSIKAN PERAN PEMUDA
UNTUK
HARI ESOK
UNTUK
HARI ESOK
Indonesia, tanah pusakaku. Bangsa yang telah gigih mempertahankan harga diri secara fisik selama hampir empat abad. Memperjuangkan hak sendiri dari tangan-tangan yang merebut. Tanah inspiratorku, tempat loncatan-loncatan ide aku tangkap dari setiap bilah mata dan hatiku.
Tanah pelipur laraku, di mana kerendahan hati para penghuninya membuat aku bisa membentangkan senyuman di kala duka menghujam. Tanah menyejukkan, karena padang hijau yang terbentang luas di setiap pulau dan inilah sang jantung dunia. Tanah kehidupan, memberi nyawa lewat panoramanya bagi setiap makhluk yang menghuni. Tanah pemikat, yang membuat jatuh hati orang yang melirik kekayaan alamnya. Tanah kecerdasan, mencetak manusia-manusia yang diakui kecerdasan, kepintaran, dan kesahajaannya oleh orang yang melihat dengan mata hatinya. Dan Indonesiaku adalah tanah harapan. Saksi sejarah kehidupanku dalam pertaruhan nyawa demi menjaga harga diri dari tekanan-tekanan fisik, mental, maupun spiritual yang telah mulai gencar dialami bibit-bibit penerus bangsa.
Detik demi detik, masa demi masa, permasalahan bertubi tiada henti. Miris menyaksikan berbagai rintangan yang harus dihadapi Indonesia. Ketimpangan sosial, sengketa budaya, hingga kemerosotan moral bangsa. Dan hal yang paling ditakutkan dan harus dilindungi secara baik dan benar, yakni masalah degradasi peran pemuda. Sosok yang menjadi tumpuan harapan, calon pemikul visi bangsa, roda penggerak misi dan target, dan penentu arah anak cucu yang masih ada dalam kandungan ibunda, sudah menjadi barang langka ditemukan di berbagai sudut pulau.
Apakah ini baru dialami ataukah memang suatu hal yang sudah turun temurun terjadi di dalam silsilah kepemimpinan Indonesia?
Aku pernah mencoba kilas balik ke belakang. Memutar kembali album pemuda zaman dahulu. Jujur, dibenak ini masih ada sebuah keganjalan, bercerita masa lalu berarti membaca sejarah. Namun terkadang, sejarah bercerita secara subjektif. Jika pro pada tokoh A, maka akan mengagungkan A. Begitu juga apabila kontra kepada B, maka B menyudutkan B.
Namun, memang tak ada salahnya untuk mengambil hikmah dari pelbagai carita sejarah yang berkaitan dengan peran pemuda Indonesia zaman dahulu. Sebagai cerminan agar menjadi bangsa yang kaizen, di mana menjadi bangsa yang maju dengan cara ambil yang baik, buang yang buruk, ciptakan yang baru.
Berdasarkan cerita yang dipelajari di sekolah maupun yang dimuat di berbagai media, baik itu media cetak maupun media elektronik, awal gelora semangat juang pemuda Indonesia sudah terasa sejak dalam penjajahan Belanda di awal abad ke-20. Puluhan tahun sebelum Indonesia merdeka.
Pemuda zaman dulu telah mengenal organisasi sejak masih pelajar. Sudah bisa terbaca, saat itu sudah mulai dipersiapkan kader-kader bangsa.
Organisasi kepemudaan adalah wahana penyambung dan penghimpun para pemuda. Organisasi dijadikan ajang bertukarpikiran dan memecahkan berbagai masalah. Boedi Oetomo adalah organisasi yang diketahui sebagai organisasi pertama penghimpun pelajar. Meskipun pada awalnya hanya untuk lingkup kedaerahan, namun pada perkembangannya, organisasi yang didirikan pada tahun 1908 ini mampu menghimpun pemuda-pemuda dari berbagai daerah secara nasional.
Setelah bertahun-tahun, ternyata gagasan Dr. Wahidin bersama rekannya dalam membentuk Boedi Oetomo memacu semangat pemuda Jawa. Sehingga pada tahun 1915 yang bertempat di gedung kebangkitan nasional, pemuda Jawa membentuk organisasi bernama Tri Koro Dharmo yang berarti Tiga Tujuan Mulia. Namun, organisasi ini berubah nama menjadi Jong Jawa pada kongres di Solo.
Geliat semangat tak hanya milik pemuda Jawa, tetapi juga oleh pemuda Sumatra. Selang dua tahun setelah Tri Koro Dharmo berdiri, kemudian dibentuk Jong Sumatra Bond (Persatuan Pemuda Sumatra). Dari organisasi inilah muncul tokoh-tokoh negara, seperti M. Hatta dan M. Yamin.
Menyusul Jong Jawa dan Jong Sumatra Bond, banyak lahir Jong-jong lain yang menjadi organisasi perkumpulan daerah. Sebut saja Jong Celebes di Sulawesi, Jong Ambon, Jong Minahasa, dan lain sebagainya.
Melalui organisasi-organisasi kedaerahan inilah para pemuda turut membantu daerahnya masing-masing agar bisa lepas dari kemelut masalah.
Terlepas dari unsur kedaerahan, pada tahun 1925, mahasiswa Jakarta dan Bandung membentuk Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia yang bertujuan untuk kemerdekaan Indonesia. Semangat pemuda kian membara untuk memerdekakan Indonesia. Sehingga dengan mengumpulkan berbagai Jong yang telah dibentuk sebelumnya di daerah masing-masing, pada tahun 1927 diadakan perkumpulan pemuda-pemudi di Bandung. Keputusan perkumpulan ini adalah dibentuknya organisasi Jong Indonesia yang kemudian diubah menjadi Pemuda Indonesia untuk yang berjenis kelamin laki-laki dan Putri Indonesia bagi perempuan.
Dari sinilah, dengan satu hati satu asa untuk mengabdi kepada tanah air, Pemuda Indonesia menghasilkan sebuah ikrar yang disebut dengan Sumpah Pemuda. Ikrar ini diputuskan pada kongres kedua, 28 Oktober 1928.
Sumpah pemuda ini merupakan titik tolak dari peran pemuda itu sendiri. Memberi gairah baru untuk terus memperjuangkan citra bangsa. Perlu kita refleksikan isi dari naskah Sumpah Pemuda.
PERTAMA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia.
KEDOEA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia.
KETIGA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia
( http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Pemuda)KEDOEA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia.
KETIGA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia
Tiga kalimat sederhana namun menggugah rasa, hati, dan cinta terhadap tanah air. Meski terpisah oleh lautan, mungkin transportasi pun belum sepraktis sekarang, tanpa memandang dan membedakan kebudayaan yang berbeda, namun Sumpah Pemuda mampu menyatukan pandangan dan pemikiran pemuda.
Tak hanya sampai di situ, atas dorongan Sumpah Pemuda dan untuk memperkokoh dan meleburkan organisasi lokal atau daerah, pada tahun 1930 dibentuk Indonesia Muda yang merupakan organisasi nasional.
Organisasi pemuda tetap gencar mencari cara dan strategi untuk memekik kata merdeka. Bukan hanya untuk golongan mereka saja, namun untuk seluruh tanah ibu pertiwi.
Kekuasaan Indonesia mulai beralih ke pangkuan Jepang pada pertengahan tahun 1942. Mungkin mereka berkaca dari masa lalu, peradaban yang sudah mulai hidup, serta tekanan dari Jepang yang lebih kejam dari Belanda sepertinya menciptakan kegigihan yang lebih dasyat.
Hingga akhirnya, ada sebuah celah kosong pada Agustus 1945. Indonesia mengalami vacuum of power. Golongan muda mendesak kepada Soekarno dan golongan tua lainnya agar memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memerdekakan Indonesia.
Adu pemikiran antara golongan tua yang terlalu memiliki banyak pertimbangan dan golongan muda yang terkesan terlalu buru-buru sempat menjadi polemik. Meski begitu, golongan muda tidak patah arang dan misinya untuk bisa memerdekakan Indonesia dalam waktu secepat-cepatnya tidak pernah goyah. Berdasarkan pertimbangan para golongan muda setelah penolakan oleh golongan tua, dengan terpaksa golongan muda menculik Soekarno, Hatta, beberapa tokoh golongan tua, berikut dengan Fatmawati, istri Soekarno.
Memang terkesan kasar dan kurang sesuai etika. Namun pengaruh dari tindakan nekat tersebut sangat positif. Indonesia bisa menyuarakan gema merdeka pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 dan membacakan teks proklamasi.
Sungguh luar biasa peran pemuda pada pra-kemerdekaan. Aku begitu kagum bagaimana pemuda dulu mengorganisir berbagai organisasi, baik organisasi keaderahan maupun nasional. Perseteruan dengan golongan tua dan peristiwa penculikan terhadap presiden pertama Indonesia menandakan begitu berliku jalan yang mesti ditempuh pemuda. Perasaan kurang percaya kepada golongan muda justru menjadi motivasi untuk bisa berperan dalam dunia ketatanegaraan. Keyakinan mereka untuk bisa bangkit dari keterpurukan tak ada salahnya untuk diterapkan di era globalisasi ini.
Namun, serangan dan tekanan masih tetap menjadi bagian kehidupan meski kemerdekaan telah diusung. Polemik yang terjadi berasal tak hanya dari luar negeri akan tetapi dari dalam negeri juga.
Sayangnya, mencari tahu tentang peran pemuda pasca merdeka cukup sulit ditemukan. Terutama pada tahun 1950-1966. Tak hanya peran pemuda yang sifatnya lebih spesifik, mencai keterangan lebih mendalam dan mendetail mengenai kondisi Indonesia pada saat itu saja sulit ditemukan. Termasuk di ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia). Pengarsipan dan administrasi pada masa ini memang sangat kurang diperhatikan. Hal ini diakui juga oleh salah seorang penulis biografi Otto Iskandar Di Nata.
Mengambil kesimpulan dari sebuah situs di internet, yakni http://transparansi.or.id/, diterangkan bahwa ada perbedaan pergerakan pemuda antar dekade. Pergerakan pemuda tahun 1928 dan 1945 mengantarkan pemuda mengambil peran strategis dalam kepemimpinan bangsa dan negara Indonesia.
Angkatan 1928 memimpin perjuangan diplomasi dan gerilya untuk memerdekakan Bangsa Indonesia. Kemudian angkatan 1945 segera memegang tampuk kepemimpinan nasional setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pada tahun 1945, meski disimpulkan bahwa pemuda berperan sebagai tampuk kepemimpinan nasional, namun hal ini tidak dijelaskan secara rinci dan pasti. Mungkin alasannya sama seperti yang aku kemukakan.
Bergerak ke tahun 1966, saat yang mana Soeharto menggantikan posisi Soekarno. Sikap yang ditunjukkan oleh Soeharto sangat berbanding terbalik dengan Soekarno yang hangat dan akrab dengan masyarakat. Sedang Soeharto kaku dan lebih sering berkumpul dengan keluarga besar daripada berbaur bersama masyarakat.
Tak hanya itu, sistem yang diterapkan dalam kepemimpinannya selama 32 tahun ini bersifat otoriter dan mengikat. Dalam analisisku (dan mungkin sama dengan yang lain), dari keotoriteran inilah aspirasi muda mulai tak tersalurkan.
Banyak perintah larangan untuk melakukan banyak hal. Larangan untuk demokrasi dan menyuarakan mengenai politik. Menurut cerita, siapa saja yang berani usik atau tidak sesuai dengan aturan yang diusung oleh pemerintah, maka dia ringkus dan diasingkan.
Indonesia terasa aman dan tenteram. Namun justru menjadi awal pengrusakan mental-mental generasi muda. Daya kritis mereka dijegal. Dan lamanya masa kepemimpinan inilah yang telah mengubah sudut pemikiran pelajar sebagai pemuda.
Dari sistem pemerintahan yang seperti itu, tidak menutup kemungkinan menjadi cikal bakal lahirnya pemuda yang acuh tak acuh terhadap pemerintah dan pemuda yang memberontak dan kontra terhadap pemerintah.
Sehingga, pemerintah dan pemuda yang seharusnya bersama-sama berpangku tangan untuk kemajuan bangsa, malah menjadi dua kubu yang saling bertentangan. Sekat pembatas antara dua pihak itu terlalu tebal. Padahal waktu 32 tahun itu adalah lama dan harusnya mampu mengatasi permasalahan yang kompleks.
Kontranya pemerintah dengan pemuda menjadikan pemuda dianggap sebagai seorang bebuyutan. Apalagi pemuda sering melakukan aksi-aksi demo hingga mampu meruntuhkan rezim pemerintahan pada masanya.
Aksi-aksi seperti itu masih sering dijumpai pada saat ini. Meskipun hal tersebut merupakan salah satu cara menyampaikan aspirasi, namun terkadang pengontrolan dirinya kurang dijaga. Sehingga tak hanya menyampaikan pemikiran pemuda, tetapi bonus dengan merusak beberapa fasilitas umum. Aksi tersebut disalahartikan dan disalahgunakan. Dan yang leboh ironis lagi, setelah menumbangkan tidak ada peran strategis yang diambil dalam kepemimpinan nasional. Tak heran, aksi tersebut akan sulit dihindari.
Memang, pada tahun 1966 Jenderal Soeharto mengendalikan kepemimpinan nasional melaui militer. Dan di awal reformasi, kepemimpinan nasional diambil alih oleh elit politik, baik legislatif maupun eksekutif.
Kilas balik mengenai kepemimpinan nasional Indonesia, wajah muda memang belum banyak yang bergabung. Selama masa pembangunan, telah beberapa dekade kita arungi. Berbagai tipe wajah pemimpin telah ikut menyemarakkan kursi kepemimpinan ibu pertiwi. Dari mulai tokoh nasionalis yang karismatik, jiwa yang kaku dan otoriter, pribadi yang hangat dan lovable, pemikir yang nyentrik, sosok wanita yang berasal dari partai politik, hingga seorang yang bijak namun tegas. Semuanya memiliki satu visi yang sama, membawa kehidupan Indonesia yang lebih bebas dan merdeka dari pelbagai kronika tanah air.
Akan tetapi, dari deretan tokoh-tokoh tersebut hanya didominasi oleh wajah-wajah lama yang mungkin hanya tersisa energi yang hampir habis setelah menempuh berbagai halang rintang hingga bisa mencapai posisi paling tinggi di kabinet kenegaraan tersebut. Lalu, di manakah para pemuda, bibit tunggal yang heterogen ini berada? Yang pada hakikatnya merupakan embrio pemimpin masa depan bangsa?
Mungkin saat ini pemuda hanya diposisikan sebagai pelajar saja. Hanya untuk menuntut ilmu. Bukan untuk pengemban amanah, apalagi penyiapan kaderisasi bangsa. Sekarang ini jarang terdengar organisasi-organisasi besar pemuda. Yang tersiar tidak akan jauh dari organisasi-organisasi yang ruang lingkupnya sebatas lokal saja. Sebagian besar organisasi kemahasiswaan.
Sekarang, tahun 2008 pun segera berakhir. Tak terasa, janji seia, sekata untuk mengharumkan citra Indonesia telah dikumandangkan 80 tahun silam melalui Sumpah Pemuda. Memang, pra maupun pasca Sumpah Pemuda, pemuda memiliki peran tersendiri dalam kancah pemerintahan dan ketatanegaraan. Diakui atau tidak, peran adalah sebuah makna kontras. Pengabdian dan pembobrokan.
Abdi pemuda telah banyak yang mengakui. Sedang pembobrokan, masih membayang-bayangi dan menjadi momok yang menakutkan. Mengingat kala ini sulit mencari sosok teladan dalam kepemimpinan. Malah, hampir setiap hari kita menyaksikan atau membaca di surat kabar tentang tindakan yang dilakukan oleh oknum pemerintah. Sebut saja korupsi dan tindak asusila. Hal ini memberi efek buruk terhadap ketertarikan pemuda untuk masuk ke dalam tatanan pemerintahan, karena rasa tersebut akan berkurang bahkan hilang sama sekali.
Tak hanya itu, di saat degradasi penerus bangsa, kita harus mampu melawan degradasi moral terlebih dahulu. Pemuda yang notabene masih memiliki pemikiran dan emosi yang labil, menjadi target bagi oknum-oknum tindak kriminal.
Melihat penayangan di televisi, setiap hari ada saja yang melanggar norma. Bahkan akibat ditayangkan di siang hari, memberi dampak yang buruk bagi anak yang memang rasa ingin tahu dan ingin mencobanya lebih tinggi. Mereka akan mencoba tindakan tersebut!
Sebelum masalah semakin pelik dan golongan tua belum kehabisan semangat kepemimpinan, ada baiknya para pemuda mulai berkaca diri, apakah yang akan saya berikan sebagai konstribusi tunas bangsa?
Namun tetap, semua tak bisa berjalan sendiri. Mari bersama saling rangkul untuk menata tatanan bangsa dengan lebih baik. Aku ingin sekali memberi andil dalam pergerakan reformasi ini. Akan tetapi, aku tetap membutuhkan pegangan dan arahan agar apa yang aku lakukan tidak salah kaprah.
Aku beruntung bisa sekolah di tempat yang mengimbangi pelajarnya antara akademik dan organisasi. Di sekolahku, SMA Al Muttaqin Fullday School & Moving Class System Tasikmalaya, sejak kelas X seluruh siswa sering dibekali dengan motivasi, teori, maupun aplikasi tentang keorganisasian. Sejak awal tahun pelajaran baru, sudah sering diadakan LDKS (Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa). Bukan guru yang memprakarsai, namun kakak kelas. LDKS ini dilaksanakan pada saat bulan Ramadhan, menjelang diselenggarakannya kegiatan perlombaan tahunan, menjelang kaderisasi OSIS, hingga menjelang MOPD. Pernah juga diadakan LDKS yang diselenggarakan oleh alumni dalam bentuk mabit (malam bina iman dan taqwa).
Selain itu, dalam sistem pemilihan OSIS, mengikuti tata aturan yang dibuat untuk pemilihan presiden dan DPR. Struktur OSIS pun dibuat seperti system negara. Ketua OSIS disebut presiden dan ketua seksi disebut menteri. Nama seksinya pun diubah menjadi departemen yang membidangi kompartemen dan biro.
Untuk memperluas pengetahuan dan jaringan, kami tak hanya dengan SMA, namun dengan universitas, instansi pemerintahan, media masa, dan organisasi-organisasi eksternal yang berkaitan dengan program. Berdasar pada pengalaman, setiap tahun kami memperluas jaringan pada saat studi ilmiah. Di sini, kami bisa bertemu langsung dengan tokoh suatu profesi dan bagi yang memiliki cita-cita sama dengan profesi tersebut, bisa mengorek lebih dalam lagi dengan bertanya. Secara tidak langsung, hal ini sudah memancing rasa ingin tahu dan daya kritis pelajar.
Mungkin, sekilas struktur di sekolahku bisa menginspirasi bahkan memberikan gagasan baru bagaimana caranaya untuk menggaet kader-kader pemimpin bangsa. Menurutku, pemuda maupun pemerintah jangan hanya terfokus pada bagaimana caranya menjadi kepala pemerintahan, namun juga menyiapkan setidaknya praktisi pendidikan, ekonom, budayawan, sosiolog, teknisi, dan kesehatan. Dan ini harus sudah mulai digagas sedari dini. Memang, dibutuhkan kepala negara, namun untuk mengurangi dan mengantisipasi permasalahan yang lebih rumit, kita juga harus sudah mempersiapkan ahli masing-masing bidang. Kebanyakan yang terjadi di Indonesia, spesifikasi keilmuan yang dimilikinya tidak jelas karena tidak terfokus pada satu tujuan. Misalnya pelajar jurusan pengetahuan alam malah kuliah di jurusan ekonomi.
Namun, ada hal yang cukup kompleks dan apabila dilupakan akan sangat berbahaya, yakni rasa cinta terhadap tanah air. Benar apa yang Bapak Adhyaksa Dault saat aku wawancara di Mesjid Agung Tasikmalaya tahun 2006 yang lalu, bahwa hal utama yang perlu dilakukan oleh pelajar adalah nation and character building.
Kini, tak terasa, masa kepemimpinan Presiden SBY sudah mencapai deadline. Isu-isu politik mulai berhembus dan perbincangan hangat di kalangan politikus maupun masyarakat. Tahun 2009 nanti penduduk Indonesia akan menyaksikan bersama, siapakah yang akan menjadi pemimpin pembawa perubahan berikutnya. Masih didominasi oleh golongan tua atau sudah ada regenerasi?
Meskipun seandainya saat ini belum banyak yang menjadi calon pemimpin masa depan Indonesia, setidaknya keterlambatan ini harus secepatnya diantisipasi agar tidak ada keterlambatan-keterlambatan yang lainnya. Mari mulai dari diri sendiri untuk mengubah cara pandang dan pemikiran bahwa hidup kita itu tidak hanya untuk diri sendiri, akan tetapi untuk mengabdi kepada tanah air dan bangsa.
Yakinlah bahwa Sumpah Pemuda itu tak hanya menjadi tulisan dan sisa sejarah masa lalu. Namun menjadi semangat dan motivasi serta ciri kehidupan yang berbangsa. Hiduplah pemuda, bangun Indonesia kita!
0 komentar:
Posting Komentar